Jumat, 30 Mei 2014

“SETENGAH NYAWA”

Krik..krik. Suara jangkrik yang merdu mengiringi hangatnya malam. Ditemani hembusan angin yang nyiur melambai. Gejolak sang malam yang tiada habisnya. Meresap pelan kedalam dinding yang terdapat lubang-lubang kecil berserabut ijuk. Di dalam istana megah. Beralaskan tanah surga. Dinding yang bercahaya. Segala alat perabot rumah tangga yang berbahan emas. Ya, begitulah mereka mengatakannya. Keluarga harmonis nan sederhana.
“Tolong ambilkan sarung itu Pak, selimutkan ke Aini, kasihan dia sudah banyak nyamuk yang mengganggunya.”
“Sarung Bapak yang mana Buk ? Bukankah masih dicuci semua?”
“Tidak kok Pak, masih ada satu sarung yang belum Ibuk cuci.”
Begitulah potret malam panjang yang sederhana bagi keluarga harmonis dan sederhana ini. Suasananya hampir sama ketika malam menjelang dan menjemput mereka menuju kasur yang empuk.
Kadir, adalah sosok ayah yang menyayangi keluarga dan sangat bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya. Terbangun disaat akhir malam. Semi fajar pun belum menyambut, Kadir sudah berdiri tegak dan bersiap untuk memasak dagangannya. Namun sebelum Kadir bangun, ternyata Siti sudah bangun terlebih dahulu. Bahkan yang membangunkan Kadir adalah Siti.
Ya, Siti adalah istri Kadir. Sosok perempuan yang penuh kasih sayang terhadap segala komponen yang ada dalam keluarga ini. Segalanya. Yang jauh melebihi kasih sayang Kadir terhadap keluarga ini. Tapi, Siti tidak mempermasalahkan hal itu, yang terpenting baginya adalah bagaimana melayani suaminya dengan baik. Dan membesarkan anaknya menjadi anak yang sholeh, pandai, dan membanggakan. Sedikit harapan dari Siti kepada anak. Aini..
“Semuanya sudah siap Pak?” ucap Siti kepada Kadir.
“Alhamdulillah sudah Buk, tinggal mengangkat panci ini ke gerobak. Terima kasih ya Buk, sudah setia mendampingi Bapak selama ini dengan kasih sayangmu yang tulus kepada Bapak dan Aini, sampai Aini sudah tumbuh besar dan lucu. Walaupun Bapak ini hanya pedagang soto keliling yang uangnya cuma sedikit, Bapak sangat sayang kepada Ibuk dan Aini.”
Aneh. Keheranan. Bingung. Beberapa hal yang dirasakan Siti kala Kadir selesai dengan ucapannya.
“Tidak seperti biasanya Bapak seperti ini. Biasanya setelah semuanya sudah siap, ia langsung berpamitan kepadaku, kucium tangannya dan tak lupa mengecup keningku.” Suara hati Siti saat itu.
Kadir juga jarang dan hampir tak pernah berpamitan kepada anaknya saat ia akan berangkat berdagang soto keliling. Karena ia harus berangkat pagi sekali untuk menuju tempat perdagangan yang jauh dari rumahnya. Kali ini dia masuk kedalam istananya lagi dan membangunkan Aini yang masih tertidur lelap.
“Ada apa Pak?” Tanya Aini polos.
“Tidak apa-apa kok anakku, Ayah hanya ingin berpamitan untuk pergi berdagang. Bapak ingin memeluk dan mencium Aini sebelum berangkat. Boleh kan?”
“Iya boleh kok Pak” jawab Aini dengan senyum manisnya.
“Jadilah anak yang baik, pintar dan sholeh. Yang menyayangi Bapak dan Ibuk. Sekolahnya tidak boleh nakal ya, harus nurut apa kata guru. Aini juga harus nurut apa yang dikatakan Ibuk saat Bapak bekerja. Pokoknya Aini harus nurut apa kata Ibuk ya.”
Siti melihat kejadian itu, pelukan Kadir kepada anak-anaknya disertai dengan nasihat-nasihat yang sering diucapkan. Namun jarang diucapkan ketika pagi buta seperti ini. Siti semakin keheranan dan bertambah bingung. Ada apa dengan Kadir? Tidak seperti biasaya ia seperti ini. Firasatnya tak bisa menentukan suatu firasat yang berarti. Ia juga tak mampu untuk bertanya langsung kepada Kadir saat itu.
“Hati-hati Bapak. Pulanglah sebelum malam.”
“Iya Buk, insyaAllah ya, Bapak titip anak-anak dulu.” Jawab Kadir dengan senyuman termanisnya serta memeluk Siti dengan penuh kasih sayang.

“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam Pak.”
Berangkatlah Kadir dengan gerobak soto kesayangannya menuju tempat perdagangan yang jauh jaraknya. Siti tetap berada di depan rumahnya melihat sang suami pergi berdagang hingga suaminya sudah tak terlihat lagi oleh sorot matanya. Lalu ia duduk di teras, kali ini ia benar-benar berfikir tentang keanehan suaminya. Hal yang membuatnya takut selalu melintas di otaknya kala itu. Dengan mengingat gerak-gerik suaminya ketika akan berpamitan. Memeluk anaknya Aini dan memberi nasihat yang jarang diucapkannya saat pagi hari, semakin menguatkan pikiran-pikiran aneh menakutkan yang tak seharusnya dipikirkan.
Lalu beberapa jam kemudian..
Braakkkk !!! Braaakkk !!! Braaakk !!!!!
Hal itu terjadi. Hal yang ditakutkan Siti benar-benar telah terjadi. Firasat aneh yang menimpanya sejak pagi tadi memang bermakna. Siti tak kuasa menahan tangisannya dan memeluk erat anaknya ketika mendengar berita dari tetangganya bahwa suami dan ayah Aini telah tiada. Dihempas oleh mobil yang melaju kencang yang kemudian tak bertanggung jawab. Pergi begitu saja.
“Kita harus ikhlas ya Nak, Bapak sepertinya sudah ingin berpamitan kepada kita sejak pagi tadi. Tuhan lebih menyayangi Bapak kita, untuk itu Bapak telah dipaggil oleh Tuhan. Aini harus selalu ingat dan melakukan apa yang telah Bapak nasihatkan kepada Aini. Ibuk yakin Bapak sangat menyayangi Aini sebagaimana Ibuk juga menyayangi Aini.”
Suasana sedih sangat mengurung Siti dan anaknya kala itu. Kali ini Siti harus berjuang dan bertarung sendirian melawan keras terjalnya kehidupan di dunia. Sebagai seorang Ibu yang bertugas ganda dalam keluarga. Menjadi Bapak dan menjadi Ibu bagi anaknya. Siti ingin anaknya sukses di kemudian hari. Ia akan melakukan apapun hingga ia dapat melihat anaknya tersenyum bahagia dengan kesuksesan yang telah diraih. Keteguhan hati yang ia tekankan ketika ia akan melakukan estafet pekerjaan suaminya.
Siti memulai lembaran dan hari baru dalam kehidupan yang berkelanjutan ini. Tanpa menghilangkan memori masa lalu yang telah indah ia rasakan bersama suaminya dalam keharmonisan dan kesederhanaan keluarga yang lengkap akan aggotanya. Siti akan melanjutkan pekerjaan Kadir. Ya, seperti pada keteguhan hati Siti sebelumnya, ia akan melakukan apapun demi kebaikan anaknya. Siti sadar ia tak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi pedagang soto keliling warisan suaminya.
Hari-hari terus berlalu hingga berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Siti masih tetap saja menjadi pedagang soto keliling. Sudah berapa juta liter keringat yang sudah ia kucurkan. Kini anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang penuh semangat akan kehidupannya.
Aini merupakan anak yang pandai dan berprestasi di sekolahnya. Siti mengajarkan banyak hal kehidupan kepada anaknya. Mulai dari mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak dilakukan, mana yang harus didekati dan maa yang dijauhi, dan mana yang dipatuhi dan dijalankan dalam kehidupan anak-anaknya. Hal-hal tersebut ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kasih sayang di kala anaknya masih kecil. Selain itu, Siti juga mengajarkan ilmu-ilmu agama yang memang sangat penting hukumnya.
“Aini, ayo shalat dulu, belajarnya dilanjut nanti lagi.”
“Iya Buk, terima kasih sudah mengingatkan.”
“Jangan lupa berdoa untuk Bapak disana.”
“Kalau doa untuk Bapak tidak akan pernah lewat Buk, Ibuk tenang saja, Hehe.” Sahut Aini dengan nada santai.
Sungguh keluarga yang sederhana dan penuh keharmonisan.
Suatu hari disaat Siti sedang asyik dengan dagangannya, tiba-tiba ia mendengar kabar bahwa Aini anak satu-satunya keracunan makanan. Tanpa berfikir pajang, ia langsung menuju Rumah Sakit dimana Aini dirujuk. Siti merasa khawatir dan sangat kebingungan mengenai kondisi Adini. Kenapa bisa jadi seperti itu  ? Bagaimana bisa Aini keracunan ? Tapi hal tersebut masih tak penting baginya. Yang terpenting baginya kali ini adalah kondisi Aini. Siti cemas karena Dokter tak kunjung keluar dari ruang pemeriksaan.
Akhirnya beberapa menit kemudian, Dokter pun keluar dan memanggil Siti untuk masuk ke dalam ruangannya.
“Anda Ibunya?”
“Iya Dok, saya Ibunya, bagaimana kondisi Aini anak saya Dok? Apa dia baik-baik saja?”
“Maaf sebelumnya Bu, anak Ibu mengalami keracunan yang sangat parah, hingga ia mengalami gagal ginjal. Dan secepatnya harus ada seorang pendonor ginjal untuk Aini. Karena kondis Aini saat ini sangat kritis.”
“Ambil ginjal saya saja Dok!” Tanpa berfikir panjang Siti ingin mendonorkan ginjalnya untuk Aini anaknya.
“Tapi dampaknya Bu....”
“Saya tidak peduli apa dan bagaimana dampaknya Dok ! Yang penting anak saya harus sembuh.”
Sahut Siti dengan tegas. Karena ia tak mau terlambat dan kehilangan salah satu anggota keluarga lagi.
Setelah proses negosiasi yang cukup alot antara Dokter dan Siti, akhirnya Dokter menyetujui bahwa Siti lah yang akan mendonorkan ginjalnya untuk Aini.
Lagi-lagi Siti membuktikan betapa sayangnya dia terhadap anaknya. Ia tidak peduli apapun yang akan terjadi. Yang terpenting adalah kelangsungan hidup anaknya.
Hingga proses operasi telah selesai dan semuanya kembali berjalan normal. Hari-hari dengan satu ginjal telah dilewatinya. Awalnya tak terjadi apa-apa tapi lama kelamaan ia merasakan sakit yang luar biasa hingga ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang menahan sakit yang amat parah.
“Ibuk kenapa?”
“Ibuk tidak kenapa-napa nak, sudah lanjutkan saja belajarmu.”
“Tapi ibuk mengerang kesakitan, kenapa denga perut ibuk? Apa ibuk sakit perut? ” Tanya Aini yang masih tetap saja polos.
“Tidak Aini sayang, anakku. Ibuk baik-baik saja kok. Ibuk sehat-sehat saja”
Siti tersenyum manis kepada Aini yang terpaksa ia bohongi. Karena ia tak mau Aini sampai tau. Sungguh rasa sakit yang luar biasa ia rasakan setiap hari. Dan semakin bertambahnya hari semakin sakit ia rasakan. Hingga Siti sudah tak mampu lagi untuk menahannya.
Lalu, di teras istananya ia terjatuh dan sedikit tidak sadar. Mendengar suara dari teras yang tak enak di dengar, Aini langsung bergegas menuju teras rumahnya. Dan ia terkejut bahwa Ibunya telah pingsan didepannya. Tanpa berfikir panjang, ia mengangkat tubuh Ibunya. Dipangkunya Siti dikursi rotan yang empuk. Ia kipasi dengan harapan agar Ibunya cepat sadar. Namun, bertetes darah keluar dari hidungnya sembari ia membuka mata.
Lalu.
“Ibuk kenapa? Kok keluar darah Buk? Jangan-jangan Ibuk mendonorkan ginjal untukku ya? Apa benar begitu Buk? Kenapa Ibuk melakukan itu??”
“Aini anakku, maafkan Ibuk. Ibuk sudah tidak kuat lagi. Bukan bermaksud membohongi kamu nak, Ibuk hanya ingin Aini bahagia dan menjadi orang sukses nantinya. Itu saja Ibuk pengennya. Itu harapan Ibuk nak. Sekali lagi maafkan Ibuk. Ibuk sudah melihat cahaya terang diatas sana. Sepertinya itu Bapak nak. Bapak menjemput Ibukk. Ibuk pamit dulu ya Aini. Ibuk sayang Aini.”
Aini hanya tertegun dan tak mampu berbuat apa-apa selain memeluk erat seerat-eratnya tubuh Ibuknya sembari hujan air matanya mengalir di pipinya.
“Aini juga sayang Ibuk...”
Potret seorang perempuan adalah kelembutan dan ketulusan kasih sayang yang dalam dari hati dan jiwanya. Dan perempuan Indonesia yang sempurna adalah perempuan yang telah menjadi seorang Istri/Ibu yang gigih, penuh kasih sayang dan kelembutan.


Dani Alfianto
JBSI/FBS/UNESA/2013
SURABAYA,APRIL 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar