“Adam, aku
bingung. Aku harus bersikap seperti apa lagi.Pada kenyataannya aku tak bisa
lagi membohongi perasaan ini.”
Di bawah pohon
rindang dan duduk berdua di atas kursi panjang yang terbius oleh dinginnya besi.
Suasana sejuk dan segar menyelimuti mereka berdua yang duduk namun tak bertatap
muka. Ditambah lagi dengan berkeliarannya burung-burung penghuni pohon rindang
sekitar yang semakin melengkapi gemerlapnya mereka. Semut-semut di hamparan
kursi yang melintasi mereka pun tak ingin mengganggu. Begitu juga dengan
alang-alang dan tanaman yang mengitari mereka. Tak ingin bersuara sedikit pun
dan mereka hanya mau bersaksi kala itu.
Ya, mereka tak
bisa bertatap muka untuk saat itu. Lantas mengapa mereka bertemu ? Pertemuan
mereka adalah sebuah skenario saja dari orang tua mereka. Yang sebatas saling
mengenal saja. Apakah dengan dipertemukan mereka akan berjabat tangan,
bercengkrama ria, bertatap muka sebebas-bebasnya, dan bercanda gurau
selebih-lebihnya ? Seharusnya tidak. Itu belum saatnya. Mereka saat ini hanya
diuji saja. Apakah mampu menahan gejolak nafsu yang mengundang ?
“Kau tak perlu
bingung Fatimah, semuanya sudah jelas. Kita hanya menunggu waktu saja, aku pun
tak bisa membohongi perasaanku.”
Tegas Adam
kepada Fatimah yang membuat Fatimah menjatuhkan air mata berliannya. Ia mulai
sadar bahwa sesungguhnya kesabaranlah yang diperlukan saat ini.
“Tahan Fatimah,
tahan dulu.” Ia mengatakan kepada dirinya sendiri.
“Maafkan aku
Adam.” Masih tak bertatap muka seperti sedia kala.
“Kau yakinlah
kepadaku Fatimah, meski kita tak pernah bertemu sebelumnya, aku sudah
mengenalmu lewat orang tua kita. Aku yakin kau adalah gadis yang baik dan
sholehah. Mereka malah mengatakan bahwa kau adalah bidadari surga yang turun
dari langit, Fatimah. Dan aku meyakini itu.”
“Aku juga begitu
Adam, aku sangat meyakini bahwa kau adalah calon imam yang terbaik untukku.
Mengisi hari-hariku dengan keindahan dan keharmonisan yang kau berikan. Aku
yakin Adam, keindahan itu akan datang pada waktunya. Dan keindahan itu adalah
bersamamu. Hanya keyakinanku kepada Allah lah yang membuatku seperti ini.
Sungguh sulit menahan rasa sabar ini. Tapi aku akan melakukannya untuk
menjemput keindahan itu Dam.”
Mereka berdua
saling bertukar argumen dan curahan hati satu sama lain. Mereka sadar, tak lama
lagi mereka harus berpisah. Orang tua mereka sebenarnya tak jauh dari tempat
mereka duduk. Namun mereka tak menyadarinya.
Hingga akhirnya
Fatimah lah yang mengetahui keberadaan orang tua mereka.
Manusia wajib
hukumnya untuk berpasang-pasangan. Namun semua itu ada prosesnya. Sudah
tertulis di kitab suci yang kita anut. Kebesaran dan keindahan ayat-ayatnya
memperjelas semuanya. Hakikat cinta, perjodohan, dan kekeluargaan.
Bahkan lebih
dari itu. Menahan diri memang sulit untuk dilakukan. Keyakinan dan kepercayaan
kepada Allah adalah kuncinya. Apa yang kau inginkan akan dikabulkan, asalkan
kau tak lepas dari garis ayat-ayatnya yang sudah jelas.
Itulah yang
mereka pegang sebagai tombak menahan diri mereka. Semua akan indah pada
waktunya. Semua sudah digariskan oleh Allah. Mereka sangat meyakini itu. Mereka
tidak mau melangkahi atau melewati alur garis yang telah ditetapkan.
“InsyaAllah. Tak
lama lagi aku akan melamarmu Fatimah. Hanya ikatan suci yang akan memberikan
jawaban dari semua pertanyaan.”
Dengan senyum
merona yang tak bisa dilihat Adam sembari tetap meneteskan air mata berlian
itu.
“Bersegeralah
Adam. Aku akan menunggumu sembari ku mengadah berharap kepada Sang Khalik agar
senantiasa meridhai kita dalam melangkah menuju ikatan suci.”
Adam tidak
menjawab apa-apa dari ucapan Fatimah. Namun Fatimah yakin bahwa ada senyum
diwajah Adam yang memberikan jawaban yang positif baginya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mereka berdiri
dan berjalan ke arah yang berbeda menuju orang tua mereka masing-masing. Dan memeluk erat mereka.
Surabaya,
Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar