Selasa, 13 Mei 2014

"Hamparan Doa"


“Adam, aku bingung. Aku harus bersikap seperti apa lagi.Pada kenyataannya aku tak bisa lagi membohongi perasaan ini.”
Di bawah pohon rindang dan duduk berdua di atas kursi panjang yang terbius oleh dinginnya besi. Suasana sejuk dan segar menyelimuti mereka berdua yang duduk namun tak bertatap muka. Ditambah lagi dengan berkeliarannya burung-burung penghuni pohon rindang sekitar yang semakin melengkapi gemerlapnya mereka. Semut-semut di hamparan kursi yang melintasi mereka pun tak ingin mengganggu. Begitu juga dengan alang-alang dan tanaman yang mengitari mereka. Tak ingin bersuara sedikit pun dan mereka hanya mau bersaksi kala itu.

Ya, mereka tak bisa bertatap muka untuk saat itu. Lantas mengapa mereka bertemu ? Pertemuan mereka adalah sebuah skenario saja dari orang tua mereka. Yang sebatas saling mengenal saja. Apakah dengan dipertemukan mereka akan berjabat tangan, bercengkrama ria, bertatap muka sebebas-bebasnya, dan bercanda gurau selebih-lebihnya ? Seharusnya tidak. Itu belum saatnya. Mereka saat ini hanya diuji saja. Apakah mampu menahan gejolak nafsu yang mengundang ?

“Kau tak perlu bingung Fatimah, semuanya sudah jelas. Kita hanya menunggu waktu saja, aku pun tak bisa membohongi perasaanku.”
Tegas Adam kepada Fatimah yang membuat Fatimah menjatuhkan air mata berliannya. Ia mulai sadar bahwa sesungguhnya kesabaranlah yang diperlukan saat ini.

“Tahan Fatimah, tahan dulu.” Ia mengatakan kepada dirinya sendiri.

“Maafkan aku Adam.” Masih tak bertatap muka seperti sedia kala.

“Kau yakinlah kepadaku Fatimah, meski kita tak pernah bertemu sebelumnya, aku sudah mengenalmu lewat orang tua kita. Aku yakin kau adalah gadis yang baik dan sholehah. Mereka malah mengatakan bahwa kau adalah bidadari surga yang turun dari langit, Fatimah. Dan aku meyakini itu.”

“Aku juga begitu Adam, aku sangat meyakini bahwa kau adalah calon imam yang terbaik untukku. Mengisi hari-hariku dengan keindahan dan keharmonisan yang kau berikan. Aku yakin Adam, keindahan itu akan datang pada waktunya. Dan keindahan itu adalah bersamamu. Hanya keyakinanku kepada Allah lah yang membuatku seperti ini. Sungguh sulit menahan rasa sabar ini. Tapi aku akan melakukannya untuk menjemput keindahan itu Dam.”

Mereka berdua saling bertukar argumen dan curahan hati satu sama lain. Mereka sadar, tak lama lagi mereka harus berpisah. Orang tua mereka sebenarnya tak jauh dari tempat mereka duduk. Namun mereka tak menyadarinya.
Hingga akhirnya Fatimah lah yang mengetahui keberadaan orang tua mereka.
Manusia wajib hukumnya untuk berpasang-pasangan. Namun semua itu ada prosesnya. Sudah tertulis di kitab suci yang kita anut. Kebesaran dan keindahan ayat-ayatnya memperjelas semuanya. Hakikat cinta, perjodohan, dan kekeluargaan.

Bahkan lebih dari itu. Menahan diri memang sulit untuk dilakukan. Keyakinan dan kepercayaan kepada Allah adalah kuncinya. Apa yang kau inginkan akan dikabulkan, asalkan kau tak lepas dari garis ayat-ayatnya yang sudah jelas.
Itulah yang mereka pegang sebagai tombak menahan diri mereka. Semua akan indah pada waktunya. Semua sudah digariskan oleh Allah. Mereka sangat meyakini itu. Mereka tidak mau melangkahi atau melewati alur garis yang telah ditetapkan.

“InsyaAllah. Tak lama lagi aku akan melamarmu Fatimah. Hanya ikatan suci yang akan memberikan jawaban dari semua pertanyaan.”
Dengan senyum merona yang tak bisa dilihat Adam sembari tetap meneteskan air mata berlian itu.
“Bersegeralah Adam. Aku akan menunggumu sembari ku mengadah berharap kepada Sang Khalik agar senantiasa meridhai kita dalam melangkah menuju ikatan suci.”
Adam tidak menjawab apa-apa dari ucapan Fatimah. Namun Fatimah yakin bahwa ada senyum diwajah Adam yang memberikan jawaban yang positif baginya.

“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mereka berdiri dan berjalan ke arah yang berbeda menuju orang tua mereka masing-masing. Dan memeluk erat mereka.



Surabaya, Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar