Krik..krik. Suara
jangkrik yang merdu mengiringi hangatnya malam. Ditemani hembusan angin yang
nyiur melambai. Gejolak sang malam yang tiada habisnya. Meresap pelan kedalam
dinding yang terdapat lubang-lubang kecil berserabut ijuk. Di dalam istana
megah. Beralaskan tanah surga. Dinding yang bercahaya. Segala alat perabot
rumah tangga yang berbahan emas. Ya, begitulah mereka mengatakannya. Keluarga
harmonis nan sederhana.
“Tolong ambilkan sarung
itu Pak, selimutkan ke Aini, kasihan dia sudah banyak nyamuk yang mengganggunya.”
“Sarung Bapak yang mana
Buk ? Bukankah masih dicuci semua?”
“Tidak kok Pak, masih ada
satu sarung yang belum Ibuk cuci.”
Begitulah potret malam
panjang yang sederhana bagi keluarga harmonis dan sederhana ini. Suasananya
hampir sama ketika malam menjelang dan menjemput mereka menuju kasur yang
empuk.
Kadir, adalah sosok
ayah yang menyayangi keluarga dan sangat bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya.
Terbangun disaat akhir malam. Semi fajar pun belum menyambut, Kadir sudah
berdiri tegak dan bersiap untuk memasak dagangannya. Namun sebelum Kadir
bangun, ternyata Siti sudah bangun terlebih dahulu. Bahkan yang membangunkan
Kadir adalah Siti.
Ya, Siti adalah istri
Kadir. Sosok perempuan yang penuh kasih sayang terhadap segala komponen yang
ada dalam keluarga ini. Segalanya. Yang jauh melebihi kasih sayang Kadir
terhadap keluarga ini. Tapi, Siti tidak mempermasalahkan hal itu, yang
terpenting baginya adalah bagaimana melayani suaminya dengan baik. Dan membesarkan
anaknya menjadi anak yang sholeh, pandai, dan membanggakan. Sedikit harapan
dari Siti kepada anak. Aini..
“Semuanya sudah siap
Pak?” ucap Siti kepada Kadir.
“Alhamdulillah sudah
Buk, tinggal mengangkat panci ini ke gerobak. Terima kasih ya Buk, sudah setia
mendampingi Bapak selama ini dengan kasih sayangmu yang tulus kepada Bapak dan
Aini, sampai Aini sudah tumbuh besar dan lucu. Walaupun Bapak ini hanya
pedagang soto keliling yang uangnya cuma sedikit, Bapak sangat sayang kepada
Ibuk dan Aini.”
Aneh. Keheranan.
Bingung. Beberapa hal yang dirasakan Siti kala Kadir selesai dengan ucapannya.
“Tidak seperti biasanya
Bapak seperti ini. Biasanya setelah semuanya sudah siap, ia langsung berpamitan
kepadaku, kucium tangannya dan tak lupa mengecup keningku.” Suara hati Siti
saat itu.
Kadir juga jarang dan
hampir tak pernah berpamitan kepada anaknya saat ia akan berangkat berdagang
soto keliling. Karena ia harus berangkat pagi sekali untuk menuju tempat
perdagangan yang jauh dari rumahnya. Kali ini dia masuk kedalam istananya lagi
dan membangunkan Aini yang masih tertidur lelap.
“Ada apa Pak?” Tanya
Aini polos.
“Tidak apa-apa kok anakku,
Ayah hanya ingin berpamitan untuk pergi berdagang. Bapak ingin memeluk dan mencium
Aini sebelum berangkat. Boleh kan?”
“Iya boleh kok Pak”
jawab Aini dengan senyum manisnya.
“Jadilah anak yang baik,
pintar dan sholeh. Yang menyayangi Bapak dan Ibuk. Sekolahnya tidak boleh nakal
ya, harus nurut apa kata guru. Aini juga harus nurut apa yang dikatakan Ibuk
saat Bapak bekerja. Pokoknya Aini harus nurut apa kata Ibuk ya.”
Siti melihat kejadian
itu, pelukan Kadir kepada anak-anaknya disertai dengan nasihat-nasihat yang
sering diucapkan. Namun jarang diucapkan ketika pagi buta seperti ini. Siti
semakin keheranan dan bertambah bingung. Ada apa dengan Kadir? Tidak seperti
biasaya ia seperti ini. Firasatnya tak bisa menentukan suatu firasat yang
berarti. Ia juga tak mampu untuk bertanya langsung kepada Kadir saat itu.
“Hati-hati Bapak.
Pulanglah sebelum malam.”
“Iya Buk, insyaAllah ya,
Bapak titip anak-anak dulu.” Jawab Kadir dengan senyuman termanisnya serta
memeluk Siti dengan penuh kasih sayang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam Pak.”
Berangkatlah Kadir
dengan gerobak soto kesayangannya menuju tempat perdagangan yang jauh jaraknya.
Siti tetap berada di depan rumahnya melihat sang suami pergi berdagang hingga
suaminya sudah tak terlihat lagi oleh sorot matanya. Lalu ia duduk di teras,
kali ini ia benar-benar berfikir tentang keanehan suaminya. Hal yang membuatnya
takut selalu melintas di otaknya kala itu. Dengan mengingat gerak-gerik
suaminya ketika akan berpamitan. Memeluk anaknya Aini dan memberi nasihat yang
jarang diucapkannya saat pagi hari, semakin menguatkan pikiran-pikiran aneh
menakutkan yang tak seharusnya dipikirkan.
Lalu beberapa jam
kemudian..
Braakkkk !!! Braaakkk
!!! Braaakk !!!!!
Hal itu terjadi. Hal
yang ditakutkan Siti benar-benar telah terjadi. Firasat aneh yang menimpanya
sejak pagi tadi memang bermakna. Siti tak kuasa menahan tangisannya dan memeluk
erat anaknya ketika mendengar berita dari tetangganya bahwa suami dan ayah Aini
telah tiada. Dihempas oleh mobil yang melaju kencang yang kemudian tak
bertanggung jawab. Pergi begitu saja.
“Kita harus ikhlas ya
Nak, Bapak sepertinya sudah ingin berpamitan kepada kita sejak pagi tadi. Tuhan
lebih menyayangi Bapak kita, untuk itu Bapak telah dipaggil oleh Tuhan. Aini
harus selalu ingat dan melakukan apa yang telah Bapak nasihatkan kepada Aini.
Ibuk yakin Bapak sangat menyayangi Aini sebagaimana Ibuk juga menyayangi Aini.”
Suasana sedih sangat
mengurung Siti dan anaknya kala itu. Kali ini Siti harus berjuang dan bertarung
sendirian melawan keras terjalnya kehidupan di dunia. Sebagai seorang Ibu yang
bertugas ganda dalam keluarga. Menjadi Bapak dan menjadi Ibu bagi anaknya. Siti
ingin anaknya sukses di kemudian hari. Ia akan melakukan apapun hingga ia dapat
melihat anaknya tersenyum bahagia dengan kesuksesan yang telah diraih.
Keteguhan hati yang ia tekankan ketika ia akan melakukan estafet pekerjaan
suaminya.
Siti memulai lembaran
dan hari baru dalam kehidupan yang berkelanjutan ini. Tanpa menghilangkan
memori masa lalu yang telah indah ia rasakan bersama suaminya dalam
keharmonisan dan kesederhanaan keluarga yang lengkap akan aggotanya. Siti akan
melanjutkan pekerjaan Kadir. Ya, seperti pada keteguhan hati Siti sebelumnya,
ia akan melakukan apapun demi kebaikan anaknya. Siti sadar ia tak bisa
melakukan apa-apa kecuali menjadi pedagang soto keliling warisan suaminya.
Hari-hari terus berlalu
hingga berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Siti masih tetap saja menjadi
pedagang soto keliling. Sudah berapa juta liter keringat yang sudah ia
kucurkan. Kini anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang penuh semangat akan
kehidupannya.
Aini merupakan anak
yang pandai dan berprestasi di sekolahnya. Siti mengajarkan banyak hal
kehidupan kepada anaknya. Mulai dari mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak
dilakukan, mana yang harus didekati dan maa yang dijauhi, dan mana yang
dipatuhi dan dijalankan dalam kehidupan anak-anaknya. Hal-hal tersebut ia
terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kasih sayang di kala anaknya
masih kecil. Selain itu, Siti juga mengajarkan ilmu-ilmu agama yang memang
sangat penting hukumnya.
“Aini, ayo shalat dulu,
belajarnya dilanjut nanti lagi.”
“Iya Buk, terima kasih
sudah mengingatkan.”
“Jangan lupa berdoa
untuk Bapak disana.”
“Kalau doa untuk Bapak
tidak akan pernah lewat Buk, Ibuk tenang saja, Hehe.” Sahut Aini dengan nada
santai.
Sungguh keluarga yang
sederhana dan penuh keharmonisan.
Suatu hari disaat Siti
sedang asyik dengan dagangannya, tiba-tiba ia mendengar kabar bahwa Aini anak
satu-satunya keracunan makanan. Tanpa berfikir pajang, ia langsung menuju Rumah
Sakit dimana Aini dirujuk. Siti merasa khawatir dan sangat kebingungan mengenai
kondisi Adini. Kenapa bisa jadi seperti itu
? Bagaimana bisa Aini keracunan ? Tapi hal tersebut masih tak penting
baginya. Yang terpenting baginya kali ini adalah kondisi Aini. Siti cemas
karena Dokter tak kunjung keluar dari ruang pemeriksaan.
Akhirnya beberapa menit
kemudian, Dokter pun keluar dan memanggil Siti untuk masuk ke dalam ruangannya.
“Anda Ibunya?”
“Iya Dok, saya Ibunya,
bagaimana kondisi Aini anak saya Dok? Apa dia baik-baik saja?”
“Maaf sebelumnya Bu,
anak Ibu mengalami keracunan yang sangat parah, hingga ia mengalami gagal
ginjal. Dan secepatnya harus ada seorang pendonor ginjal untuk Aini. Karena
kondis Aini saat ini sangat kritis.”
“Ambil ginjal saya saja
Dok!” Tanpa berfikir panjang Siti ingin mendonorkan ginjalnya untuk Aini
anaknya.
“Tapi dampaknya Bu....”
“Saya tidak peduli apa
dan bagaimana dampaknya Dok ! Yang penting anak saya harus sembuh.”
Sahut Siti dengan
tegas. Karena ia tak mau terlambat dan kehilangan salah satu anggota keluarga
lagi.
Setelah proses
negosiasi yang cukup alot antara Dokter dan Siti, akhirnya Dokter menyetujui
bahwa Siti lah yang akan mendonorkan ginjalnya untuk Aini.
Lagi-lagi Siti
membuktikan betapa sayangnya dia terhadap anaknya. Ia tidak peduli apapun yang
akan terjadi. Yang terpenting adalah kelangsungan hidup anaknya.
Hingga proses operasi
telah selesai dan semuanya kembali berjalan normal. Hari-hari dengan satu
ginjal telah dilewatinya. Awalnya tak terjadi apa-apa tapi lama kelamaan ia
merasakan sakit yang luar biasa hingga ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang
menahan sakit yang amat parah.
“Ibuk kenapa?”
“Ibuk tidak kenapa-napa
nak, sudah lanjutkan saja belajarmu.”
“Tapi ibuk mengerang
kesakitan, kenapa denga perut ibuk? Apa ibuk sakit perut? ” Tanya Aini yang
masih tetap saja polos.
“Tidak Aini sayang,
anakku. Ibuk baik-baik saja kok. Ibuk sehat-sehat saja”
Siti tersenyum manis
kepada Aini yang terpaksa ia bohongi. Karena ia tak mau Aini sampai tau.
Sungguh rasa sakit yang luar biasa ia rasakan setiap hari. Dan semakin
bertambahnya hari semakin sakit ia rasakan. Hingga Siti sudah tak mampu lagi
untuk menahannya.
Lalu, di teras
istananya ia terjatuh dan sedikit tidak sadar. Mendengar suara dari teras yang
tak enak di dengar, Aini langsung bergegas menuju teras rumahnya. Dan ia
terkejut bahwa Ibunya telah pingsan didepannya. Tanpa berfikir panjang, ia
mengangkat tubuh Ibunya. Dipangkunya Siti dikursi rotan yang empuk. Ia kipasi
dengan harapan agar Ibunya cepat sadar. Namun, bertetes darah keluar dari
hidungnya sembari ia membuka mata.
Lalu.
“Ibuk kenapa? Kok
keluar darah Buk? Jangan-jangan Ibuk mendonorkan ginjal untukku ya? Apa benar
begitu Buk? Kenapa Ibuk melakukan itu??”
“Aini anakku, maafkan
Ibuk. Ibuk sudah tidak kuat lagi. Bukan bermaksud membohongi kamu nak, Ibuk
hanya ingin Aini bahagia dan menjadi orang sukses nantinya. Itu saja Ibuk
pengennya. Itu harapan Ibuk nak. Sekali lagi maafkan Ibuk. Ibuk sudah melihat
cahaya terang diatas sana. Sepertinya itu Bapak nak. Bapak menjemput Ibukk.
Ibuk pamit dulu ya Aini. Ibuk sayang Aini.”
Aini hanya tertegun dan
tak mampu berbuat apa-apa selain memeluk erat seerat-eratnya tubuh Ibuknya
sembari hujan air matanya mengalir di pipinya.
“Aini juga sayang
Ibuk...”
Potret seorang
perempuan adalah kelembutan dan ketulusan kasih sayang yang dalam dari hati dan
jiwanya. Dan perempuan Indonesia yang sempurna adalah perempuan yang telah
menjadi seorang Istri/Ibu yang gigih, penuh kasih sayang dan kelembutan.
Dani
Alfianto
JBSI/FBS/UNESA/2013
SURABAYA,APRIL
2014