Jumat, 30 Mei 2014

“Knalpot Panas”

Lama ketika kita tak pernah bertemu
Jauh dari keramaian dan kesepian
Sebuah angan-angan yang kuhamparkan
Aku menanyakanmu
Aku memintamu
Hingga aku menunggumu
Di teriknya surya atas kepala yang menyerang jiwa
Aku masih menantimu, menunggumu
Sempat aku berfikir kenapa tidak aku saja yang mendatangi surya
Tapi tetap saja aku tak tahu jawabnya
Ternyata kau datang juga
Dan.. ...Ouuchhh..... Awww
Kau masih mampu memberikan senyuman mungilmu
Dengan keindahan dan ketentraman
Hancur sudah gemerlap rindu mendera kalbu
Terima kasih atas terjanganmu kepadanya
Berkat terjanganmu dia masih menyimpan senyuman mungil terbaik
Terbaik yang pernah ada
Yang aku yakini masih belum dia berikan kepada siapapun
Bukan saat itu, tapi suatu saat nanti
Angan senja sang semi fajar

Dani, Mei 2014


“Senja Di Indrayanti”

Angin yang berhembus kencang
Segar dan sejuk mengampiri ku
Tak ragu ku teriakkan kata kelegaan
Aku tau aku tak sendiri
Banyak hitam tapi tak banyak putih
Memang sentuhannya akhir-akhir ini sedikit meredup
Aku juga jarang melihat semi fajarku
Akhirnya aku juga tak mampu untuk menahan mauku
Menyelam ke dalam
Awalnya hanya di tepi
Tapi akhirnya, aku menyelam juga
Aku sedikit meninggalkan angin kesukaanku
Banyak yang kutemui di dalam
Tapi lebih banyak karang beracun
Buruk, tapi tersamar oleh keindahan
Awalnya tak meracuniku atau membunuhku
Tapi cahaya keterangan tau
Akhirnya aku teracuni dan terbunuh
Aku melayang diambang kematian
Maafkan aku, maafkan aku
Aku kini sedikit ragu untuk berjalan
Namun aku yakin akan ada harapan lagi

Kembalilah, aku akan menanti

Dani, Yogya 2014

"Istikharah"

Bagi raga yang tak memiliki
Arah ketika siang berbadai
Butiran bening mengembang di pelupuk mata
Namun masih kulihat sedikit lukisan indah di wajahku kala aku melihat bayang yang bukan lagi semu
Nampak begitu jelas ribuan butir bakal api yang kelak akan membakar raga di hadapan bayang itu
Bagi raga yang tak memiliki arah, ketika siang berbadai
Butiran bening mengembang di pelupuk mata
Kala hati berpadu dalam setiap ayat dalam istikharahku

LDP, Semarang 2014

“SETENGAH NYAWA”

Krik..krik. Suara jangkrik yang merdu mengiringi hangatnya malam. Ditemani hembusan angin yang nyiur melambai. Gejolak sang malam yang tiada habisnya. Meresap pelan kedalam dinding yang terdapat lubang-lubang kecil berserabut ijuk. Di dalam istana megah. Beralaskan tanah surga. Dinding yang bercahaya. Segala alat perabot rumah tangga yang berbahan emas. Ya, begitulah mereka mengatakannya. Keluarga harmonis nan sederhana.
“Tolong ambilkan sarung itu Pak, selimutkan ke Aini, kasihan dia sudah banyak nyamuk yang mengganggunya.”
“Sarung Bapak yang mana Buk ? Bukankah masih dicuci semua?”
“Tidak kok Pak, masih ada satu sarung yang belum Ibuk cuci.”
Begitulah potret malam panjang yang sederhana bagi keluarga harmonis dan sederhana ini. Suasananya hampir sama ketika malam menjelang dan menjemput mereka menuju kasur yang empuk.
Kadir, adalah sosok ayah yang menyayangi keluarga dan sangat bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya. Terbangun disaat akhir malam. Semi fajar pun belum menyambut, Kadir sudah berdiri tegak dan bersiap untuk memasak dagangannya. Namun sebelum Kadir bangun, ternyata Siti sudah bangun terlebih dahulu. Bahkan yang membangunkan Kadir adalah Siti.
Ya, Siti adalah istri Kadir. Sosok perempuan yang penuh kasih sayang terhadap segala komponen yang ada dalam keluarga ini. Segalanya. Yang jauh melebihi kasih sayang Kadir terhadap keluarga ini. Tapi, Siti tidak mempermasalahkan hal itu, yang terpenting baginya adalah bagaimana melayani suaminya dengan baik. Dan membesarkan anaknya menjadi anak yang sholeh, pandai, dan membanggakan. Sedikit harapan dari Siti kepada anak. Aini..
“Semuanya sudah siap Pak?” ucap Siti kepada Kadir.
“Alhamdulillah sudah Buk, tinggal mengangkat panci ini ke gerobak. Terima kasih ya Buk, sudah setia mendampingi Bapak selama ini dengan kasih sayangmu yang tulus kepada Bapak dan Aini, sampai Aini sudah tumbuh besar dan lucu. Walaupun Bapak ini hanya pedagang soto keliling yang uangnya cuma sedikit, Bapak sangat sayang kepada Ibuk dan Aini.”
Aneh. Keheranan. Bingung. Beberapa hal yang dirasakan Siti kala Kadir selesai dengan ucapannya.
“Tidak seperti biasanya Bapak seperti ini. Biasanya setelah semuanya sudah siap, ia langsung berpamitan kepadaku, kucium tangannya dan tak lupa mengecup keningku.” Suara hati Siti saat itu.
Kadir juga jarang dan hampir tak pernah berpamitan kepada anaknya saat ia akan berangkat berdagang soto keliling. Karena ia harus berangkat pagi sekali untuk menuju tempat perdagangan yang jauh dari rumahnya. Kali ini dia masuk kedalam istananya lagi dan membangunkan Aini yang masih tertidur lelap.
“Ada apa Pak?” Tanya Aini polos.
“Tidak apa-apa kok anakku, Ayah hanya ingin berpamitan untuk pergi berdagang. Bapak ingin memeluk dan mencium Aini sebelum berangkat. Boleh kan?”
“Iya boleh kok Pak” jawab Aini dengan senyum manisnya.
“Jadilah anak yang baik, pintar dan sholeh. Yang menyayangi Bapak dan Ibuk. Sekolahnya tidak boleh nakal ya, harus nurut apa kata guru. Aini juga harus nurut apa yang dikatakan Ibuk saat Bapak bekerja. Pokoknya Aini harus nurut apa kata Ibuk ya.”
Siti melihat kejadian itu, pelukan Kadir kepada anak-anaknya disertai dengan nasihat-nasihat yang sering diucapkan. Namun jarang diucapkan ketika pagi buta seperti ini. Siti semakin keheranan dan bertambah bingung. Ada apa dengan Kadir? Tidak seperti biasaya ia seperti ini. Firasatnya tak bisa menentukan suatu firasat yang berarti. Ia juga tak mampu untuk bertanya langsung kepada Kadir saat itu.
“Hati-hati Bapak. Pulanglah sebelum malam.”
“Iya Buk, insyaAllah ya, Bapak titip anak-anak dulu.” Jawab Kadir dengan senyuman termanisnya serta memeluk Siti dengan penuh kasih sayang.

“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam Pak.”
Berangkatlah Kadir dengan gerobak soto kesayangannya menuju tempat perdagangan yang jauh jaraknya. Siti tetap berada di depan rumahnya melihat sang suami pergi berdagang hingga suaminya sudah tak terlihat lagi oleh sorot matanya. Lalu ia duduk di teras, kali ini ia benar-benar berfikir tentang keanehan suaminya. Hal yang membuatnya takut selalu melintas di otaknya kala itu. Dengan mengingat gerak-gerik suaminya ketika akan berpamitan. Memeluk anaknya Aini dan memberi nasihat yang jarang diucapkannya saat pagi hari, semakin menguatkan pikiran-pikiran aneh menakutkan yang tak seharusnya dipikirkan.
Lalu beberapa jam kemudian..
Braakkkk !!! Braaakkk !!! Braaakk !!!!!
Hal itu terjadi. Hal yang ditakutkan Siti benar-benar telah terjadi. Firasat aneh yang menimpanya sejak pagi tadi memang bermakna. Siti tak kuasa menahan tangisannya dan memeluk erat anaknya ketika mendengar berita dari tetangganya bahwa suami dan ayah Aini telah tiada. Dihempas oleh mobil yang melaju kencang yang kemudian tak bertanggung jawab. Pergi begitu saja.
“Kita harus ikhlas ya Nak, Bapak sepertinya sudah ingin berpamitan kepada kita sejak pagi tadi. Tuhan lebih menyayangi Bapak kita, untuk itu Bapak telah dipaggil oleh Tuhan. Aini harus selalu ingat dan melakukan apa yang telah Bapak nasihatkan kepada Aini. Ibuk yakin Bapak sangat menyayangi Aini sebagaimana Ibuk juga menyayangi Aini.”
Suasana sedih sangat mengurung Siti dan anaknya kala itu. Kali ini Siti harus berjuang dan bertarung sendirian melawan keras terjalnya kehidupan di dunia. Sebagai seorang Ibu yang bertugas ganda dalam keluarga. Menjadi Bapak dan menjadi Ibu bagi anaknya. Siti ingin anaknya sukses di kemudian hari. Ia akan melakukan apapun hingga ia dapat melihat anaknya tersenyum bahagia dengan kesuksesan yang telah diraih. Keteguhan hati yang ia tekankan ketika ia akan melakukan estafet pekerjaan suaminya.
Siti memulai lembaran dan hari baru dalam kehidupan yang berkelanjutan ini. Tanpa menghilangkan memori masa lalu yang telah indah ia rasakan bersama suaminya dalam keharmonisan dan kesederhanaan keluarga yang lengkap akan aggotanya. Siti akan melanjutkan pekerjaan Kadir. Ya, seperti pada keteguhan hati Siti sebelumnya, ia akan melakukan apapun demi kebaikan anaknya. Siti sadar ia tak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi pedagang soto keliling warisan suaminya.
Hari-hari terus berlalu hingga berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Siti masih tetap saja menjadi pedagang soto keliling. Sudah berapa juta liter keringat yang sudah ia kucurkan. Kini anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang penuh semangat akan kehidupannya.
Aini merupakan anak yang pandai dan berprestasi di sekolahnya. Siti mengajarkan banyak hal kehidupan kepada anaknya. Mulai dari mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak dilakukan, mana yang harus didekati dan maa yang dijauhi, dan mana yang dipatuhi dan dijalankan dalam kehidupan anak-anaknya. Hal-hal tersebut ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kasih sayang di kala anaknya masih kecil. Selain itu, Siti juga mengajarkan ilmu-ilmu agama yang memang sangat penting hukumnya.
“Aini, ayo shalat dulu, belajarnya dilanjut nanti lagi.”
“Iya Buk, terima kasih sudah mengingatkan.”
“Jangan lupa berdoa untuk Bapak disana.”
“Kalau doa untuk Bapak tidak akan pernah lewat Buk, Ibuk tenang saja, Hehe.” Sahut Aini dengan nada santai.
Sungguh keluarga yang sederhana dan penuh keharmonisan.
Suatu hari disaat Siti sedang asyik dengan dagangannya, tiba-tiba ia mendengar kabar bahwa Aini anak satu-satunya keracunan makanan. Tanpa berfikir pajang, ia langsung menuju Rumah Sakit dimana Aini dirujuk. Siti merasa khawatir dan sangat kebingungan mengenai kondisi Adini. Kenapa bisa jadi seperti itu  ? Bagaimana bisa Aini keracunan ? Tapi hal tersebut masih tak penting baginya. Yang terpenting baginya kali ini adalah kondisi Aini. Siti cemas karena Dokter tak kunjung keluar dari ruang pemeriksaan.
Akhirnya beberapa menit kemudian, Dokter pun keluar dan memanggil Siti untuk masuk ke dalam ruangannya.
“Anda Ibunya?”
“Iya Dok, saya Ibunya, bagaimana kondisi Aini anak saya Dok? Apa dia baik-baik saja?”
“Maaf sebelumnya Bu, anak Ibu mengalami keracunan yang sangat parah, hingga ia mengalami gagal ginjal. Dan secepatnya harus ada seorang pendonor ginjal untuk Aini. Karena kondis Aini saat ini sangat kritis.”
“Ambil ginjal saya saja Dok!” Tanpa berfikir panjang Siti ingin mendonorkan ginjalnya untuk Aini anaknya.
“Tapi dampaknya Bu....”
“Saya tidak peduli apa dan bagaimana dampaknya Dok ! Yang penting anak saya harus sembuh.”
Sahut Siti dengan tegas. Karena ia tak mau terlambat dan kehilangan salah satu anggota keluarga lagi.
Setelah proses negosiasi yang cukup alot antara Dokter dan Siti, akhirnya Dokter menyetujui bahwa Siti lah yang akan mendonorkan ginjalnya untuk Aini.
Lagi-lagi Siti membuktikan betapa sayangnya dia terhadap anaknya. Ia tidak peduli apapun yang akan terjadi. Yang terpenting adalah kelangsungan hidup anaknya.
Hingga proses operasi telah selesai dan semuanya kembali berjalan normal. Hari-hari dengan satu ginjal telah dilewatinya. Awalnya tak terjadi apa-apa tapi lama kelamaan ia merasakan sakit yang luar biasa hingga ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang menahan sakit yang amat parah.
“Ibuk kenapa?”
“Ibuk tidak kenapa-napa nak, sudah lanjutkan saja belajarmu.”
“Tapi ibuk mengerang kesakitan, kenapa denga perut ibuk? Apa ibuk sakit perut? ” Tanya Aini yang masih tetap saja polos.
“Tidak Aini sayang, anakku. Ibuk baik-baik saja kok. Ibuk sehat-sehat saja”
Siti tersenyum manis kepada Aini yang terpaksa ia bohongi. Karena ia tak mau Aini sampai tau. Sungguh rasa sakit yang luar biasa ia rasakan setiap hari. Dan semakin bertambahnya hari semakin sakit ia rasakan. Hingga Siti sudah tak mampu lagi untuk menahannya.
Lalu, di teras istananya ia terjatuh dan sedikit tidak sadar. Mendengar suara dari teras yang tak enak di dengar, Aini langsung bergegas menuju teras rumahnya. Dan ia terkejut bahwa Ibunya telah pingsan didepannya. Tanpa berfikir panjang, ia mengangkat tubuh Ibunya. Dipangkunya Siti dikursi rotan yang empuk. Ia kipasi dengan harapan agar Ibunya cepat sadar. Namun, bertetes darah keluar dari hidungnya sembari ia membuka mata.
Lalu.
“Ibuk kenapa? Kok keluar darah Buk? Jangan-jangan Ibuk mendonorkan ginjal untukku ya? Apa benar begitu Buk? Kenapa Ibuk melakukan itu??”
“Aini anakku, maafkan Ibuk. Ibuk sudah tidak kuat lagi. Bukan bermaksud membohongi kamu nak, Ibuk hanya ingin Aini bahagia dan menjadi orang sukses nantinya. Itu saja Ibuk pengennya. Itu harapan Ibuk nak. Sekali lagi maafkan Ibuk. Ibuk sudah melihat cahaya terang diatas sana. Sepertinya itu Bapak nak. Bapak menjemput Ibukk. Ibuk pamit dulu ya Aini. Ibuk sayang Aini.”
Aini hanya tertegun dan tak mampu berbuat apa-apa selain memeluk erat seerat-eratnya tubuh Ibuknya sembari hujan air matanya mengalir di pipinya.
“Aini juga sayang Ibuk...”
Potret seorang perempuan adalah kelembutan dan ketulusan kasih sayang yang dalam dari hati dan jiwanya. Dan perempuan Indonesia yang sempurna adalah perempuan yang telah menjadi seorang Istri/Ibu yang gigih, penuh kasih sayang dan kelembutan.


Dani Alfianto
JBSI/FBS/UNESA/2013
SURABAYA,APRIL 2014


Kamis, 22 Mei 2014

"Pule, Indrayanti, Malio"

Terlintas di benak hati bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalanan yang terduga namun membuat kita tak terduga. Terdapat banyak arti dalam indah kelamnya hidup ini. Seolah kita adalah manusia paling beruntung yang dapat merasakan indah kelam lautan cinta. Puncak kenikmatan merampas semua janji-janji akhir baligh yang terlewati. Tapi itu indah. Nikmat terduga tapi tak terduga. Terangnya cinta saat itu semakin meyakinkan bahwa dunia adalah nyata. Entah apa itu nyata, yang pasti aku, kamu, dan mereka telah datang sejak kita masih berasa biji jeruk. Inilah kenyataan hidup. Hamparan angin deras yang mengundang decak kagum, lebatnya ombak yang mendera jiwa batin menyiksa, pasir kerikil menggigil yang telah menjadi kaca hidup, dan luasnya lautan cinta yang semakin membesarkan namaNya. Ya, kita telah melewati itu. Bersama dan berpegang tangan memejamkan mata.

Sebelumnya, tak ada kata cinta diantara kita. Sangat munafik jika kita tak pernah merasakan yang namanya nikmat dusta. Dengan dusta kita tahu mana yang meluaskan dan mana yang menyempitkan. Luasnya samudera menjadi saksi bahwa doa adalah sebuah lantunan yang suci. Besarnya cinta antara ibu dan anaknya menjadi panutan dalam melangkah kedepan. Gemerlap gebyar sang pelangi sudah memutuskan untuk kita. Hanya sebuah jalan cahaya yang terang di depan mata kita, di genggaman tangan kita, dan mengalir dalam tubuh kita. Aku ingin kita merasakan nikmatnya cinta dalam canduan. Bukan cinta nafsu yang tak dapat kita hindari, yang kita nikmati tanpa mengadah ke atas. Bukan itu. Canduan cinta yang akan menyatukan kita ke dalam peraduan. Peraduan kini yang semakin menanjak seperti pegunungan Himalaya yang ada. Aku ingin kita melewati itu. Tak ada kata lain selain cinta. Namun pasti ada dusta. Dusta tak akan terlepas dari cinta. Dan cinta tak akan kuat menahan derasnya dusta. Cukup lantunan syair suci dari mulut manis kita menjadi pelembab bagi keduanya. Dimana sebuah kelembaban cinta candu di dalam peraduan yang sejatinya tak akan terpatahkan. Aku, kamu, dan mereka adalah kita. 

Rabu, 14 Mei 2014

"Rindu Perempuan"



Terlahir suci tanpa dosa dan semburan luka
Menjalani asa kehidupan yang dibimbing pendahulunya
Tumbuh subur penuh bekal abadi titipan sang surya
Memancarkan sinar surya dikala terang
Dan menerangi gelap lewat sinar rembulan
Lemah lembut lemah gemulai tercerna buaian
Sentuhan jiwa bak pasir samudera antartika
Selalu terbayang didalam angan anganku
Meresap syahdu dan tercerna oleh rindu
Hingga masuk menusuk alur kerongkongan
Diam tenang damai sedap dipandang
Memberi alunan aura tergores kalbu kotor menyejukkan
Paras tubuh tanpa lekukan lekukan tanpa mengundang
Paras wajah bercahayakan akal dan iman
Bersua tentang keadilan dan kedamaian seperti pendahulunya
Oh perempuanku oh perempuanku
Bumi pertiwi dan tanah air
Terbentang luas jauh sejauh jauhnya
Rindu akan sosok dirimu oh perempuanku

Selasa, 13 Mei 2014

"Kala Itu"

Tak ada ragu sedikit pun ketika kau pandang wajah ini
Tatapan mata indah itu, aku tak bisa melupakannya
Alis tebal dengan gelapnya garis lurus yang ada
Sungguh membuat diri ini lepas kendali tak tau kemana
Aku rindu, kamu pun rindu
Terlalu cepat memang untuk mengatakan kalau ini cinta
Bukan cinta, ini bukan cinta
Teringat kala itu ruang hampa yang hadir tanpa permisi
Menghilang dalam derasnya arus sungai yang mengalir
Aku tahu kau jauh saat itu, jauh dalam dekapan lembut bukan milikku
Walau aku pun tak pernah mendekap lembut sosokmu
Sekarang aku disaat itu tersadar bahwa ini memang bukan cinta
Aku disaat itu tak tahu apa arti dari dia yang mendekapku tanpa menyentuh
Hanya menunggu di pojok ruang hati asmara tanpa nafas
Kalau bukan cinta, lantas ini apa
Tak sangka kau datang dengan gaun indah yang kau kenakan
Menghampiri dan menyambut tangan lemas tak berdaya
Kau hamparkan pesona kelembutanmu seakan ku terbangun dari kematianku
Ya, aku hidup lagi berkat dekapan indah kala itu
Hati sedikit ku berharap tak hanya kala itu
Terima kasih indah terucap oleh Sang Semi Fajar

Surabaya, Mei 2014

"Hamparan Doa"


“Adam, aku bingung. Aku harus bersikap seperti apa lagi.Pada kenyataannya aku tak bisa lagi membohongi perasaan ini.”
Di bawah pohon rindang dan duduk berdua di atas kursi panjang yang terbius oleh dinginnya besi. Suasana sejuk dan segar menyelimuti mereka berdua yang duduk namun tak bertatap muka. Ditambah lagi dengan berkeliarannya burung-burung penghuni pohon rindang sekitar yang semakin melengkapi gemerlapnya mereka. Semut-semut di hamparan kursi yang melintasi mereka pun tak ingin mengganggu. Begitu juga dengan alang-alang dan tanaman yang mengitari mereka. Tak ingin bersuara sedikit pun dan mereka hanya mau bersaksi kala itu.

Ya, mereka tak bisa bertatap muka untuk saat itu. Lantas mengapa mereka bertemu ? Pertemuan mereka adalah sebuah skenario saja dari orang tua mereka. Yang sebatas saling mengenal saja. Apakah dengan dipertemukan mereka akan berjabat tangan, bercengkrama ria, bertatap muka sebebas-bebasnya, dan bercanda gurau selebih-lebihnya ? Seharusnya tidak. Itu belum saatnya. Mereka saat ini hanya diuji saja. Apakah mampu menahan gejolak nafsu yang mengundang ?

“Kau tak perlu bingung Fatimah, semuanya sudah jelas. Kita hanya menunggu waktu saja, aku pun tak bisa membohongi perasaanku.”
Tegas Adam kepada Fatimah yang membuat Fatimah menjatuhkan air mata berliannya. Ia mulai sadar bahwa sesungguhnya kesabaranlah yang diperlukan saat ini.

“Tahan Fatimah, tahan dulu.” Ia mengatakan kepada dirinya sendiri.

“Maafkan aku Adam.” Masih tak bertatap muka seperti sedia kala.

“Kau yakinlah kepadaku Fatimah, meski kita tak pernah bertemu sebelumnya, aku sudah mengenalmu lewat orang tua kita. Aku yakin kau adalah gadis yang baik dan sholehah. Mereka malah mengatakan bahwa kau adalah bidadari surga yang turun dari langit, Fatimah. Dan aku meyakini itu.”

“Aku juga begitu Adam, aku sangat meyakini bahwa kau adalah calon imam yang terbaik untukku. Mengisi hari-hariku dengan keindahan dan keharmonisan yang kau berikan. Aku yakin Adam, keindahan itu akan datang pada waktunya. Dan keindahan itu adalah bersamamu. Hanya keyakinanku kepada Allah lah yang membuatku seperti ini. Sungguh sulit menahan rasa sabar ini. Tapi aku akan melakukannya untuk menjemput keindahan itu Dam.”

Mereka berdua saling bertukar argumen dan curahan hati satu sama lain. Mereka sadar, tak lama lagi mereka harus berpisah. Orang tua mereka sebenarnya tak jauh dari tempat mereka duduk. Namun mereka tak menyadarinya.
Hingga akhirnya Fatimah lah yang mengetahui keberadaan orang tua mereka.
Manusia wajib hukumnya untuk berpasang-pasangan. Namun semua itu ada prosesnya. Sudah tertulis di kitab suci yang kita anut. Kebesaran dan keindahan ayat-ayatnya memperjelas semuanya. Hakikat cinta, perjodohan, dan kekeluargaan.

Bahkan lebih dari itu. Menahan diri memang sulit untuk dilakukan. Keyakinan dan kepercayaan kepada Allah adalah kuncinya. Apa yang kau inginkan akan dikabulkan, asalkan kau tak lepas dari garis ayat-ayatnya yang sudah jelas.
Itulah yang mereka pegang sebagai tombak menahan diri mereka. Semua akan indah pada waktunya. Semua sudah digariskan oleh Allah. Mereka sangat meyakini itu. Mereka tidak mau melangkahi atau melewati alur garis yang telah ditetapkan.

“InsyaAllah. Tak lama lagi aku akan melamarmu Fatimah. Hanya ikatan suci yang akan memberikan jawaban dari semua pertanyaan.”
Dengan senyum merona yang tak bisa dilihat Adam sembari tetap meneteskan air mata berlian itu.
“Bersegeralah Adam. Aku akan menunggumu sembari ku mengadah berharap kepada Sang Khalik agar senantiasa meridhai kita dalam melangkah menuju ikatan suci.”
Adam tidak menjawab apa-apa dari ucapan Fatimah. Namun Fatimah yakin bahwa ada senyum diwajah Adam yang memberikan jawaban yang positif baginya.

“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mereka berdiri dan berjalan ke arah yang berbeda menuju orang tua mereka masing-masing. Dan memeluk erat mereka.



Surabaya, Desember 2013

"Bapak Kereta"

Oh Bapak
Tugasmu begitu sederhana
Duduk, berdiri, mengawasi
Duduk, berdiri, mengawasi
Duduk, berdiri, mengawasi
Terkadang kau mengangkat gagang berdering itu
Memang terlihat gampang dan sederhana
Namun sederhana itu berubah menjadi tanggung jawab yang besar
Beban yang dipikul sungguh berat
Karena berjuta nyawa ada di tanganmu
Tugasmu sungguh mulia oh Bapak
Sebenarnya banyak pekerjaan yang lebih baik
Daripada harus menjaga palang kereta
Namun inilah hatimu
Inilah pilihanmu
Menjadi penjaga palang kereta api
Menjaga dan melindungi berjuta nyawa
Dengan hati, jiwa, dan segenap pikiran
Terima kasih Bapak


Surabaya, Januari 2014

Kamis, 08 Mei 2014

"Perempuan-Ku...."

Perempuanku ...
Sedap dipandang ketika tersenyum dalam duka
Perempuanku ...
Sedap dipandang ketika menangis dalam asa
Perempuanku ...
Sedap dipandang ketika gelora aura mengundang

Perempuanku ...
Enak dirasa ketika kau sentuh raga ini
Perempuanku ...
Enak dirasa ketika batin jiwa kau bisikkan kata mesra
Perempuanku ..
Enak dirasa ketika tatapan mata menatap mata

Perempuanku ...
Nikmat sejatinya ketika kau ucapkan kata sayang nan cinta
Perempuanku ...
Nikmat sejatinya ketika kau lantunkan syair syair merdu
Perempuanku ...
Nikmat sejatinya ketika kau pasrahkan segalanya kepada diriku


Surabaya, Mei 2014
Sang Semi Fajar

Rabu, 07 Mei 2014

"Hanya di Awal"

Bagiku melihatmu kala itu adalah suatu anugerah yang indah
Tampak pancaran sinar terang terpancar dari wajah dan tubuhmu itu
Sampai sampai ku terkagum dalam isapan senyuman manis
Polos, anggun, dingin, tapi menyentuh
Apalagi senyum dari mulut manismu itu
Memang kau tak seperti orang lain
Yang pandai bicara namun tak pandai menyentuh
Aku tahu kau sangat berbeda dengan yang lain
Kau mampu menyentuhku kala itu
Ya, disaat ku melihatmu saja kau mampu menyentuhku
Sungguh indah paras yang kau tampilkan
Walaupun aku tahu paras itu untuk semua orang
Tapi aku tak peduli
Ku mengadah keatas berdoa pada Tuhan
Bagiku, parasmu hanya teruntuk diriku
Sekali lagi kau mampu menyentuhku
Dalam dekapan buaian rindu maupun lantunan isak tangismu
Sampai disini dulu teruntuk dirimu
Salam rindu di lubuk jiwa sang Semi Fajar


Surabaya, Mei 2014
Dani